Profil Organisasi Tulisan dan Makalah Media Berita Hikmah Isi Buku Tamu
Info Kegiatan Forum Tanya-jawab Do'a Galeri Foto Link Lihat Buku Tamu

 

SIAPAKAH AHLULBAIT ITU ? *)
(BAGIAN I)
 

Istilah  ahlulbait berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab: ahlul/ahli(= penghuni) dan bait/bayt(= rumah).Dalam Islam, istilah ahlulbait merujuk pada Firman Allah SWT: “Sesengguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kami, hai ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab:33).Ada beberapa penafsiran terhadap ayat tersebut. Pertama,  sebagian ulama ahlussunah (al-Qurthubi, Ibnu Kayyah, ath-Thabari, asy-Syaukani, dll) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlulbait dalam ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. Sebab konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Rasulullah.  Muhammad asy-Syaukani berkata,”Sesungguhnya Allah SWT berpesan kepada istri-istri nabi supaya bertakwa, berbicara yang makruf, diam di rumah, tidak bersolek, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.....”

Kedua,  pendapat beberapa kalangan ulama ahlussunah yang menyatakan bahwa ahlulbait menurut ayat di atas adalah Bani Hasyim secara keseluruhan. Dalam kitab Muslim diceritakan bahwa Hashin bin Samrah bertanya pada Zaid bin Arqam, “Siapakah ahlulbait Rasulullah itu wahai Zaid? Apakah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlulbaitnya?” Zaid menjawab,”istri-istri Rasulullah saw tidak termasuk ahlulbaitnya. Yang dimaksud ahlulbait Rasulullah adalah mereka yang haram menerima sedekah sepeninggal Rasulullah saw.” “Siapa mereka  itu?”tanya Hashin lagi. Zaid menjawab,”Mereka itu adalah keluarga ‘Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Namun riwayat ini lemah dari segi perawinya.

Ketiga, pendapat kalangan syiah dan beberapa kalangan ahlussunah, yang dikuatkan dari sebab kejadian (asbabun nuzul) turunnya ayat tersebut. Tarmudzi meriwayatkan dari Ummu Salamah (seorang istri Nabi saw) bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein berada di rumahnya. Ummu Salamah bertanya, “Tidakkah aku juga termasuk ahlulbaitmu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Engkau berada dalam kebaikan. Engkau dari istri-istriku.” Kemudian Rasulullah memanggil ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, kemudian menyelimuti mereka semua dengan sorban sambil berkata,”ya Allah, merekalah ahlulbaitku, hindarkanlah noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”  Pada riwayat lain yang disebutkan oleh al-Khazin, Rasulullah menyelimuti ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan kisa/pakaian penutup dan tidak mengizinkan Ummu Salamah untuk bergabung, seraya berkata kepada,”Engkau dalam kebaikan...” .Jadi, ayat di atas menunjukkan bahwa ahlulbait Rasulullah itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin ‘Ali, dan Husein bin ‘Ali.

Satu hal yang menjadi perhatian bahwa ayat tersebut-yang selanjutnya disebut ayat Tathir-adalah ayat yang terpisah dan bukan merupakan bagian dari ayat yang lain. Hal ini tampak dari setiap orang yang menceritakan sebab-sebab turunnya. Penyusunan ayat-ayat Al Quran tidak dilakukan dengan melihat dari sisi urutan waktu, melainkan dari sebab yang bermacam-macam, sesuai dengan pendapat para pengumpul Al Quran. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa ahlulbait itu adalah istri-istri Rasulullah saw tertolak karena alasan ini. Lagi pula, tidak seorang pun istri-istri Rasulullah mengaku bahwa ayat Tathir ini turun untuk dirinya.

Riwayat Tarmudzi di atas telah disahihkan oleh Ibnu Jarir. Brgitu juga Ibnu Mundzir dan al-Hakim meriwayatkan dan dibenarkan oleh Ibnu Mardawaih. Baihaqi juga meriwayatkannya dari berbagai jalur yang semua berasal dari Ummu Salamah. Riwayat dari Ummu Salamah ini sahih menurut syarat Bukhari. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ahlulbait Rasulullah saw (yang hidup pada masa itu) adalah: ‘Ali bin Abi Thalib as., Fatimah az-Zahra as., Hasan bin ‘Ali as., Husein bin ‘Ali as.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang menjadi makna ayat tersebut, dan mengapa hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu? Ternyata jawabannya dapat dihubungkan dengan hadits Rasulullah saw,” Perumpamaan ahlulbaitku tidak ubahnya seperti bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya maka ia selamat. Barangsiapa yang bergantung padanya maka ia menang. Dan barangsiapa yang berpaling darinya maka ia terlempar ke dalam neraka”(dari Kitab Dzakha’ir al-‘Uqba, Muhib ath-Thabari, hal 50). Ini adalah wasiat Rasulullah. Sebagai petunjuk, apabila Rasulullah wafat, seorang dari ahlulbaitnya-lah yang menjadi pengganti. Sebagai pemimpin (Imam), penerus kenabian, tempat rujukan permasalahan (ushul) dan hukum-hukum (fiqih). Seterusnya, jika Sang Pengganti ini wafat, maka posisinya akan ditempati oleh seorang ahlulbait Rasulullah yang masih hidup, demikian seterusnya. Pada kesempatan lain, Nabi menjelaskan mengenai pengganti (washi) beliau satu persatu hingga akhir zaman (bersambung).      

 

 

*) Dari berbagai sumber

 

 

 

Kembali ke halaman muka