Profil Organisasi | Tulisan dan Makalah | Media | Berita | Hikmah | Isi Buku Tamu |
Info Kegiatan | Forum Tanya-jawab | Do'a | Galeri Foto | Link | Lihat Buku Tamu |
MEDIA IJABI JOGJA dalam penggarapan......., namun kami akan menampilkan cuplikan buletin dari PB IJABI, yaitu buletin HUD-HUD. |
Edisi ke 2/I/Muharram 1422 H
|
Siapkah Kita
Memasuki Dialog Lintas Peradaban?*) Dengan Nama Allah Mahapengasih,
Mahapenyayang Dan Berkata baik kepada Manusia
(QS. 2:83) Pendahuluan Di dalam Theateus, Plato menulis: Janganlah Anda mengajukan pertanyaan secara
tidak adil. Sungguh tidak beralasan bahwa seseorang yang perduli pada
kebaikan, tetap melakukan kekeliruan ketidakadilan dalam berargumen. Ketidakadilan
yang dimaksud disini bukan yang termasuk dalam pencarian perbedaan antara
perdebatan dan percakapan. Suatu perdebatan tidak membutuhkan keseriusan
dan orang boleh saja menggelincirkan lawan karena keluarbiasaan kekuatannya,
tetapi percakapan tidak seharusnya disikapi secara mendalam; orang harus
membantu pihak yang lain dan hanya membawa pulang ketergelinciran dan
kekeliruan yang berkaitan dengan dirinya sendiri atau kepada instruktur
pertamanya. Jika anda mengikuti aturan ini, kawan anda akan menyalahkan
kebingungan dan kegalauan diri mereka sendiri dan bukan pada Anda; mereka
akan menyukai Anda dan menghormati masyarakat Anda, kemudian menyamarkan
diri mereka , serta kembali pada filsafat, dengan harapan dapat melarikan
diri dari probadinya yang sebelumnya dan lalu menjadi orang yang berbeda.
Untuk memasuki suatu dialog, kita juga harus mempersiapkan diri
untuk menjadi orang yang berbeda,
begitu juga kita harus membantu orang yang menjadi pasangan dialog kita
untuk menjadi orang lain. Jika peradaban diartikan sebagai memasuki dialog,
maka dengan analogi, mereka harus bersiap meninggalkan diri mereka sebelumnya,
dan lalu menjadi peradaban yang berbeda. Tetapi apakah analogi ini masuk
akal? Saya kira demikian, tetapi saya juga berpendapat bahwa ia juga bermanfaat
untuk merefleksi pada metafira dialog peradaban. Metafora Vs. Analisis Politik Samuel Huntington dalam The Clash
of Civilization and the Remarking
of the World Order mengusulkan analisis politik dunia kontemporer
sebagai pembagian dunia menjadi beberapa peradaban dengan agama, sejarah,
identitas, dan nilai-nilai yang berbeda.
Dia menggambarkan hubungan di antara kelompok-kelompok kultur ini
sebagai bentrokan peradaban karena perbedaan nilai-nilai dan faktor-faktor
yang lain menimbulkan konflik. Dia
juga memandang peradaban sebagai alat promosi utama liberal modern Barat. Dia menyarankan bahwa pembuat kebijakan di Amerika Serikat harus
lebih mengkonsentrasikan upayanya kepada kesadaran membela dan mempromosikan
peradaban Barat. Buku Huntington
telah menarik banyak perhatian dan memancing banyak kritisisme, pembagian
peradabannya telah dikritk sebagai sesuatu yang serampangan. Analisisnya juga mengundang banyak tuduhan,
pandangannya mengenai sejarah diserang secara tidak akurat. Terakhir, saran-saran kebijakannya dikritik
sebagai melawan keuntungan nasional Amerika Serikat. Salah satu yang paling menarik
dalam menanggapi gagasan 'bentrokan peradaban', telah diserukan oleh Presiden
Republik Islam Iran, Sayyid Muhammad Khatemi, yang menegaskan kembali
seruannya untuk melakukan 'dialog peradaban' pada Sidang Umum PBB, pada
tanggl 21 September 1998, dan mengusulkan taliun 2001 sebagai'tahun dialog
lintas peradaban'. Tampaknya ungkapan
'bentrokan peradaban' dan 'dialog peradaban' secara alami cukup berlawanan,
sehingga usulan Presiden Khatemi terlihat sebagai alternatif umat manusia
untuk berselisih, gagasan-gagasan itu begitu jelas sehingga mereka termasuk
ke dalam kategori-kategori yang jelas. Gagasan dasar bentrokan peradaban adalah penjelasan bagi
konflik yang ada, yang merupakan serpihan analisis politik. Pada sisi lain, gagasan Dialog Lintas Peradaban, sebenarnya bukan analisis
sama sekali; tetapi tepatnya adalah suatu usulan, yang dalam bentuk metafora,
adalah suatu jalan yang di dalamnya kita mungkin bisa saling berhadap-hadapan.
Seolah-olah bagaikan Machiaveli dijawab oleh Hafiz.
Yang satu berbicara mengenai Politiknyata yang lain berbicara tentang
cinta ('isyq). Jika
usulan Presiden Khatemi adalah lebih dari sekadar pemikiran cinta, maka
kita harus mencoba memahami apa yang dimaksud dengan metafora. Mengurai Metafora Peradaban tidak memiliki lidah
atau pun telinga. Ia tidak dapat
mendengar dan berbicara. Orang-orang
berbicara dan mendengar serta terlibat dalam percakapan; tetapi peradaban
adalah suatu entitas abstrak yang ditempatkan oleh para sejarahwan dan
teoretis politik. Oleh karena
itu, dialog lintas peradaban, tidak mungkin dilakukan.
Seperti tanggapan orang yang sangat berpikir literal, mungkin mengusulkan
dialog lintas peradaban. Jika
kita berbicara secara literal maka tentu saja literalis benar. Jadi, jika kita ingin membentuk suatu pamahaman
yang berada di luar dialog lintas peradaban, maka kita harus menemukan
suatu cara untuk menjelaskan metafora itu. Tetapi terdapat kekaburan terhadap dialog lintas peradaban yang
melampaui kenyataan peradaban itu, sehingga kekurangan bagian-bagian tubuh
yang tepat, dan hal ini juga harus dipertimbangkan seperti kita merefleksi
pada, bagaimana memahami gagasan dialog lintas peradaban. Orang Lain dan Diri Sendiri Berbicara tentang dialog berarti
berbicara dengan tujuan menjembatani suatu gap antara diri dengan orang
lain. Jika dialog berjalan efektif
bagi suatu jenis transformasi seperti yang diungkapkan oleh Plato, mungkin
merupakan pengingat yang berguna untuk berpikir tentang menjembatani gap
dari orang lain kepada diri sendiri, alih-alih frase yang sangat terkenal
mengatakan, 'diri dan orang lain', karena dialog bukan bertujuan memaksakan
[pendapat, pen] diri kita kepada orang lain, melainkan menerima mereka
dengan tangan terbuka. Dialog membutuhkan undangan, dan bagi Muslim,
di dalam Islam terdapat instruksi yang lebih dari cukup tentang sikap
baik (tidib) yang mencakup penawaran undangan dan melayani tamu. Betapa pun dalam dialog,
kita bertindak sebagai tamu dan tuan rumah. Orang lain mengundang kita untuk mengambil bagian dalam hidangan
gagasan-gagasannya, nilai-nilai dan aspirasi-aspirasinya, begitu pun sebaliknya.
Ketika kita mendengar, harus bersikap sebagai tamu, dan ketika
kita berbicara, bertindak sebagai tuan rumah. Ini
adalah suatu urusan yang sangat lembut, jika partisipan menghancurkan
sikap baik ini, maka dialog akan terhenti. Jika dialog sangat sulit dilakukan antar dua orang, terlebih lagi pada dialog lintas peradaban. Mengarahkan perhatian kepada peradaban lain berarti mempertimbangkan banyak keindividuan orang-orang dari peradaban itu, yang di dalamnya nuansa-nuansa terlewati, nilai-nilai dan sikap-sikap yang ditentukan secara sosial akan terkumpul bersama-bersama. Peradaban asing menolak upayaupaya
kita untuk mengadakan dialog, karena mereka tidak mampu menghargai aturan-aturan
bersikap baik. Realitas ini yang
disebut oleh Robert Grudin sebagai'Massa Orang Lain'. Massa orang lain akan menjadi kumpulan yang
besar, menyamakan rasa dan menyatukan
niat. Sampai sejauh ini, kumpulan orang lain
memiliki identitas tanpa jiwa, suatu
tempat tinggal tanpa belaskasih.
Ia memiliki tempat tinggal karena konsolidasi kekuatan sosial; tidak memiliki rasa simpati kepada orang lain karena tidak
sadar akait dirinya sendiri. Seperti
satu sosok monster, tatapan wajah
angkuh dingin, citra bermuka tebal
dari sistem pembelaan diri. Citra ini berbicara tetapi tidak mendengar. Hubungan kita kepadanya mutlak nondialog, karena kekuatannya terletak pada mengabaikan dialog. Menceramahi kita dengan diskursus formal tetapi tenggelam dan sirna pada
saat terancam tanggapan. Agar dapat berlangsung suatu dialog, kita mesti menemukan orang lain berikutnya. Produksi dan Imitasi Dalam pemahaman metaforis, semua produksi peradaban bisa dianggap sebagai perkataannya. Peradaban berbicara melalui seni dan teknologinya, melalui literatur dan hukum, melalui sejarah gagasan-gagasan mereka. Meski pun peradaban tidak memiliki akal untuk berpikir, pikiranpikiran muncul di antara masyarakat peradaban dan merefleksikan peke@aan dan produksi mereka yang bisa diatributkan sebagai peradaban itu sendiri. Di dalamnya tersirat pemahaman bahwa peradaban memiliki lidah, sebab lidah menggambarkan buah pikiran, begitu pun, hasil peradaban merefleksikan pikiran-pikirannya. Berdialog, tidak cukup hanya
berbicara. Tetapi harus mendengarkan.
Seseorang dikategorikan mendengarkan, bila perkataan orang lain
menimbulkan reaksi, baik dalam perkataan atau pun perbuatan.
Hal yang sama berlaku bagi peradaban.
Kritik seni mengungkap cara karya seni dan arsitektur suatu kultur
mempengaruhi yang lain. Pengaruh
ini membutuhkan waktu yang lama, seperti gaya peradaban kuno menjadi marak
di dunia modern. Atau yang singkat, seperti teknologi Jepang
yang meniru teknologi Barat, setelah diproduksi ulang dengan cepat ditiru
oleh Eropa dan Amerika. Melalui
peniruan dan modifikasi, melalui montase dan bahkan melalui pembelian
tidak sah, orang-orang, kultur-kultur, gagasan-gagasan, bangsabangsa dan
peradaban-peradaban menunjukkan bahwa mereka mendengarkan yang lain. Dalam berdialog, ada dua unsur
penting, yaitu berbicai-a dan mendengarkan. Inilah yang mengada di dalam sketsa pemahaman metaforis, yakni di
dalam peradaban. Di sini, kita
akan menggunakan analogi antropologis untuk membicarakan dialog lintas
peradaban, yang disebut dengan interpretasi
analogi antropologis. Unsur-unsur yang telah kita
identifikasi di dalam interpretasi analogi antropologis tidak cukup untuk
mengadakan dialog lintas peradaban, karena dialog sesungguhnya membutuhkan
lebih dari sekadar berbicara dan mendengarkan.
Meski pun peradaban dapat dibicarakan melalui metafora, sikap yang
kurang baik tetap tidak dapat dihindarkan.
Dialog membutuhkan observasi sikap, kesiapan memasuki dunia asing
dan benar-benar dengan niat menyambut.
Peradaban mungkin memproduksi dan meniru, ekspor dan impor, tetapi
mereka tidak membuka hati mereka kepada dialog.(Bersambung) |