Profil Organisasi | Tulisan dan Makalah | Media | Berita | Hikmah | Isi Buku Tamu |
Info Kegiatan | Forum Tanya-jawab | Do'a | Galeri Foto | Link | Lihat Buku Tamu |
MASYARAKAT RELIGIUS*)
A. M. Safwan**)
“ Sekelompok Orang menumpang sebuah perahu, berlayar di laut dan membelah gelombang. Masing-masing mendapatkan tempat duduk. Salah seorang dari para musafir itu, dengan menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat sebuah lubang di bawah tempat duduknya dengan sebuha alat tajam. Andaikata para musafir itu tak menahan dan mencegah tangannya dari berbuat demikian, tentu mereka semua, termasuk si celaka itu, akan tenggelam.” (Muhammad Rasulullah Saaw)
Dalam pandangan dunia keagamaan (teologis-rasional), manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan dimensi ruhani. Sebagaimana jasmani perlu dirawat dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya juga ruhanipun demikian. Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup lebih baik dan mengantarkannya pada kesempurnaannya dengan semata bergantung pada masalah materil, misalnya, makan, minum, dan seks, dan mengabaikan unsur/nilai ruhani ( spiritual).
Kalau kita dapat memahami fakta tersebut, maka tentu kita
pun mungkin akan dapat memahami secara rasional implikasi keberadaan kedua
dimensi tersebut dalam kehidupan
manusia. Pandangan dunia keagamaan
melihat bahwa keberadaan dimensi jasmani sangat bergantung dan
dipengaruhi oleh dimensi jasmani,
misalnya, jasmani orang mungkin sakit tetapi belum tentu dengan dimensi
ruhaninya dan ini tidak menimbulkan efek yang lebih besar dibandingkan jika
ruhani manusia yang sakit. Misalnya, kebencian, dendam, malas, pikiran yang
sangat sex oriented, kehidupan yang yang sangat bergantung pada
keberadaan orang lain. Penyakit seperti ini akan menyebabkan orang tersebut
akan kehilangan penghargaan kemanusiaannya dan bahkan mungkin ia akan mengalami
keterasingan (alienasi). (Elaborasi lebih dalam lihat karya E.F. Schumacher
terutama Keluar Dari Kemelut (1980),
karya-karya Erich Fromm dan ulasan-ulasan Yasraf Amir Piliang dalam Sebuah
Dunia Yang Dilipat (1988) , Frithjof Schoun terutama Memahami Islam (1983),
Fritjof Capra (1997) Titik Balik Peradaban)
Jika pada tingkat individu manusia demikian adanya bagaimana halnya dengan kehidupan pada
tingkat masyarakat?
Dalam pandangan dunia keagamaan, masyarakat dipahami dan dilihat sebagai sesuatu entitas yang
obyektif pula sebagaimana individu. Dalam arti, jika individu punya kelahiran,
pertumbuhan dan kematian demikian pula dengan
masyarakat juga ada kelahiran, pertumbuhan, dan kematiannya.
Kita memahami bahwa
masyarakat memiliki kebutuhan material dan juga dalam masyarakat ada
perkembangan yang tidak terkait
langsung dengan pemenuhan kebutuhan material. Paradigma berpikir masyarakat,
kepercayaan, sistem simbol serta sistem nilai dalam orientasi kebudayaan
tertentu. Keseluruhan persoalan itulah yang menentukan bagaimana masyarakat
merespon realitas kehidupannya.
Persoalan selanjutnya adalah
bagaimana kita menempatkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dalam hal ini
nilai budaya dan keagamaan? Apakah
nilai dalam masyarakat akan membentuk hierarki nilai? Ataukah seluruh nilai
dalam masyarakat akan berinteraksi secara intelektual, spiritual, dan
sosial yang terkait dengan perkembangan
kebudayaan, sehingga tidak ada hegemoni satu nilai tertentu? Bagaimana
sesungguhnya tendensi masyarakat religius?
Semua itulah bahan pengantar
diskusi kita bersama kali ini, semuanya dengan suatu kepercayaan dasar bahwa
semua nilai religiusitas dalam masyarakat
tidak boleh kita hancurkan dengan sekedar doktrin-normatif semata, tanpa
dasar-dasar rasional-historis dan interaksi nilai dalam masyarakat harus
berangkat dengan keterbukaan dan skeptisisme yang sehat.
Wallahu’alam bi al-shawab
*) Catatan Pengantar yang
disampaikan dalam Diskusi Forum Studi Mahasiswa Merdeka (Forsmad), Ahad, 13 Mei
2001
**) Staf Yayasan
RausyanFikr Yogyakarta