Profil Organisasi | Tulisan dan Makalah | Media | Berita | Hikmah | Isi Buku Tamu |
Info Kegiatan | Forum Tanya-jawab | Do'a | Galeri Foto | Link | Lihat Buku Tamu |
MENYOAL
KECERDASAN SPIRITUAL*)
Drs. Subandi, MA**)
Ilmu pengetahuan dan teknologi memang selalu berkembang
dengan pesatnya akhir-akhir ini. Bukan saja dibidang teknologi informasi,
kedokteran, pertanian dsbnya, tetapi juga dibidang psikologi. Belum sempat kita
mencerna secara matang tentang konsep dan aplikasi EQ (Emotional Quotient)
yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman tahun 1995, sekarang muncul SQ (Spiritual
Quotient) yang diperkenalkan oleh seorang Psikolog Danah Zohar dan Suaminya
Ian Marshall, seorang ahli Fisika. Buku suami istri yang berjudul SQ : Spiritual
Intelligence–The Ultimate Intellegence memang cepat sekali populer, tak
kalah dengan bukunya Daniel Goleman. Edisi Indonesia diterjemahkan menjadi :
SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Kehidupan yang diterbitkan oleh Mizan. Buku ini tentu sangat
menarik bagi orang Indonesia yang sangat religius, karena dapat menjadi
pendukung ilmiah bagi tumbuhnya keyakinan agama.
Sebenarnya masalah
spiritualitas manusia sudah disadari oleh para ahli Psikologi sejak lama.
Ketika Psikologi masih merupakan ilmu yang masih muda di barat, banyak
tokoh-tokoh yang telah mengkaji masalah ini. Antara lain William James dengan
bukunya yang monumental, the Varieties of Religious Experiences, yang
mendokumentasikan berbagai macam pengalaman spiritual/ mistis. Carl Gustav Jung
secara tegas menyebutkan adanya bagian dalam diri manusia yang bersifat
spiritual. Dan beberapa tokoh lainnya. Namun kajian ini kemudian tersingkirkan
oleh berbagai tren dalam psikologi. Mulai dengan Psikoanalisis Freud dan
tradisi behavioristik. Tetapi dengan munculnya pendekatan humanistik, persoalan
spiritualitas mulai dipertimbangkan. Dan psikologi transpersonal yang muncul
pada tahun 70-an, merupakan trend psikologi yang dengan tegas mengkaji dimensi
spiritualitas manusia. Dengan munculnya konsep SQ baru-baru ini, akan semakin
memperkuat dukungan masalah spiritualitas ini dalam psikologi.
Paper ini mencoba
melihat lebih dalam konsep SQ yang diperkenalkan oleh Zohar dan Marshal,
sekaligus mencoba mengembangkan ke arah wawasan yang lebih luas. Dalam tulisan
ini saya tetap akan menggunakan SQ (Spiritual Quotient), meskipun sebenarnya
hal ini salah kaprah. Kata Quotient artinya adalah angka dari hasil pembagian.
Kata ini digunakan dalam perhitungan angka IQ, yang merupakan hasil bagi dari
umur mental dengan umur kalender. Maka sebenarnya istilah IQ, EQ maupun SQ
harus digunakan ketika orang mengadakan perhitungan angka. Kalau tidak, istilah
kecerdasan mental, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah yang
paling tepat. Tetapi karena IQ, EQ dan SQ lebih populer dan lebih keren, maka
makalah ini juga menggunakan istilah SQ.
Pengertian SQ
Dalam bukunya SQ,
Dana Zohar tampak tidak memberikan batasan secara definitif, tetapi mereka
memberikan penjelasan-penjelasan maupun berbagai gambaran yang semuanya
berkaitan dengan esensi SQ. Dari penjelasan-penjelasan tersebut tampak bahwa
pengarang sangat menekankan aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari
kecerdasan spiritual.
“SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
masalah makna dan nilai”. (h.4)
‘SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya (h.4)
“Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (h.4)
“Kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai
yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Menurut Zohar dan Marshal memang SQ mempunyai kaitan
dengan kreativitas. Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan masalah
nilai. Dikatakan bahwa SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan
dan situasi, memberi rasa moral, menentukan baik dan jahat, memberi gambaran
atau bayangan kemungkinan yang belum terwujud.
Aspek selanjutnya
dari SQ adalah bahwa SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian dari diri
manusia yang paling dalam dan menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia
yang lain.
“SQ adalah
kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan
kearifan diluar ego atau jiwa sadar.”
“SQ menjadikan
manusia yang benar- benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.”
“SQ adalah
kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan
yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara
utuh.”
“SQ adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif oleh
karena itu SQ adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Hal ini secara
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kemampuan manusia
mentransendensikan diri: “transendensi merupakan kualitas tertinggi dari
kehidupan spiritual. Menurut Zohar dan Marshall transendensi adalah sesuatu
yang membawa manusia “mengatasi” (beyond) – mengatasi masa kini, mengatasi rasa
suka dan rasa duka, bahkan mengatasi diri kita pada saat ini.
Ia membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan
pengalaman kita., serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman kita kedalam
konteks yang lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan
sesuatu yang luar biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam maupun diluar diri
kita.
Dari uraian diatas, saya melihat
bahwa transendensi diri ini adalah inti dari pada SQ, karena dengan kemampuan
transendensi diri itu manusia dapat mencapai “pusat”. Dengan demikian
unsur-unsur yang lain akan mengikuti dengan sangat indah, Zohar dan Marshall
memberikan gambaran tentang transendensi diri dengan mengutip penjelasan
seorang fisikawan dari Jepang Michio Kaku. Disitu digambarkan bahwa manusia
dibumi ini seperti sekelompok ikan yang
berenang dalam sebuah mangkuk. Mereka tidak sadar bahwa mereka tinggal dalam
sebuah mangkuk yang di isi air. Itulah
dunia mereka dan mereka menerimanya. Kemudian salah satu ikan tiba-tiba
melompat tinggi ke mangkuk. Ia bisa melihat tempat asalnya dan teman-temannya
dalam perspektif yang lebih tinggi. Disitu dia bisa tahu bahwa dunia yang
ditempatinya itu hanyalah kecil saja dan ada dunia lain yang jauh lebih luas dengan medium yang bukan air.
Kemampuan melompat tinggi-tinggi itulah yang menggambarkan kemampuan SQ
seseorang.
Perlu ditegaskan di sini bahwa SQ
bukan hanya sekedar imajinasi atau angan-angan tentang melompat tinggi. Tetapi
merupakan pengalaman nyata. Orang tersebut benar-benar “merasakan” dan
“mengalami” sendiri. Dengan bahasa populer, barangkali SQ bisa diartikan
sebagai kemampuan merohanikan diri. Defenisi inilah yang diungkapkan oleh
Khalil Khavari (2000) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
fakultas dari dimensi non-material atau ruh manusia.
Zohar dan Marshall memberikan
gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu :
1.
Kemampuan bersikap fleksibel
(adaptif secara spontan dan aktif)
2.
Tingkat kesadaran yang tinggi
3.
Kemampuan menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan
4.
Kemampuan untuk menghadapi
dan melampaui rasa takut
5.
Kualitas hidup yang diilhami
oleh visi dan nilai-nilai
6.
Keengganan untuk menyebabkan
kerugian yang tidak perlu
7.
Kecenderungan untuk melihat
keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik)
8.
Kecenderungan nyata untuk
bertanya: “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar
9.
Pemimpin yang penuh
pengabdian dan bertanggungjawab.
Ciri-ciri tersebut menurut saya masih terlihat sangat
psikologis. Padahal dimensi spiritual jauh melebihi hal itu. Oleh karena itu
saya perlu menambahkan beberapa kriteria lainnya:
1.
Kemampuan menghayati
keberadaan Tuhan.
2.
Memahami diri secara utuh
dalam dimensi ruang dan waktu
3.
Memahami hakekat di balik
realitas
4.
Menemukan hakikat diri
5.
Tidak terkungkung
egosentrisme.
6.
Memiliki rasa cinta
7.
Memiliki kepekaan batin
8. Mencapai pengalaman spiritual: kesatuan segala wujud,
mengalami realitas non-material (dunia gaib)
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti
hubungan antara agama dan SQ. Karena pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ
selalu berhubungan dengan agama. Padahal menurut kedua pengarang tersebut SQ
berbeda dengan agama. Kalau agama merupakan aturan-aturan dari luar sedang SQ
adalah kemampuan internal. Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari
dalam. SQ mampu menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang semua
agama. Orang yang SQ-nya tinggi tidak
picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.
Di sini dengan
tegas Zohar menyatakan bahwa memang orang dapat meningkatkan melalui jalan
agama. Tetapi agama tidak menjamin SQ tinggi. Zohar mengatakan :” Banyak orang
humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi. Tetapi sebaliknya banyak orang
yang aktif beragama memiliki SQ yang rendah.”
Pernyataan ini
tampaknya sangat kontroversial. Tapi sebenarnya wajar saja, karena pengertian
spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall ini tidak selalu
mengkaitkan dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka kecerdasan spiritual lebih banyak
terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya
tidak perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup
dari bekerja, belajar, berkarya bahkan
ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di sini tampak bahwa Zohar dan
Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan SQ tinggi.
Karena memang mereka berangkat dari pemahaman sains murni. Bagi orang beragama
seperti di Indonesia hal ini tampaknya sulit diterima, karena orang Indonesia
menempatkan agama sebagai basis dari semua kegiatan, sehingga persoalan
spiritual selalu dikaitkan dengan
agama.
Menurut saya, memang apa yang diungkapkan Zohar tidak
seratus persen salah. Bahwa orang ateis dapat memiliki SQ tinggi. Artinya SQ yang
tinggi tidak menjamin orang menjadi beriman kepada Tuhan. Karena semuanya masih
merupakan potensi manusiawi. Seperti halnya orang yang IQ dan EQ nya tinggi
tidak menjamin dia religius. Oleh karena itu, baik IQ, EQ, maupun SQ harus
dibimbing oleh agama. Bahkan sebenarnya setiap agama telah memiliki dimensi
yang dapat mengembangkan SQ, yaitu pada dimensi batiniah (esoterik). Dalam agama Islam dimensi
esoterik tersebut tidak lain adalah tasawuf dan sufisme. Di dalam tradisi
tasawuf juga telah dijelaskan langkah-langkah
bagaimana orang dapat mengembangkan SQ atau rohani. Ketinggian SQ dilihat dari
kebersihan diri dan kedekatan dengan Allah. Selanjutnya hal ini akan dapat
memberikan makna, nilai maupun kreatifitas dalam kehidupan seseorang. Persis
seperti yang digambarkan Zohar dan Marshall tentang SQ. Dalam bahasa tasawuf
kecerdasan spiritual bisa berarti kecerdasan qalbu.
Buku tentang SQ
yang ditulis oleh suami-isteri Danah Zohar dan Ian Marshal ini memang sangat
menarik untuk dikaji. Tetapi sebagai kajian awal, tentu masih banyak
konsep-konsep yang masih belum operasional. Pengembangan lebih lanjut perlu
dilakukan. Misalnya dengan membandingkan dengan tradisi tasawuf secara khusus
maupun ajaran Islam secara umum. Karena buku ini sangat sedikit menyinggung
agama Islam sebagai salah satu agama besar di dunia.
*) Disampaikan dalam seminar setengah hari “Spiritual Intelligence” yang diselenggarakan oleh PW IJABI Yogya di gedung UC UGM 6 Juni 2001
**) Dosen Psikologi UGM